Suku Al Sulaba, merupakan salah satu suku nomaden di Semenanjung
Arab (Arab Peninsula) yang dianggap suku aneh yang hidup di gurun,
oasis, wadi, bukit, dan gunung-gunung. Suku ini mampu melintasi dataran
kering, beberapa sumber menyebut mereka Al Sulban yang diartikan sebagai
salib atau Al-Khlawiyah, sebuah nama yang diambil dari Khala yang
berarti padang gurun, nama yang menyiratkan sebutan anjing pariah.
Mereka memiliki kemampuan luar biasa, suku yang rendah hati, jumlahnya
kecil, kekuatan (militer) lemah, status rendah dan sederhana, bahkan
asal-usulnya tidak diketahui di kalangan orang Arab.
Suku Al Sulaba tidak memiliki wilayah kesukuan atau deereh atau
negara di padang pasir. Mereka tersebar dari gurun Suriah di utara
(sekitar Palmyra) hingga ke Mossul dan gurun selatan-timur di Irak,
bahkan sampaui ke Najd dan wilayah ekstrim Hijaz barat selatan Arab
Saudi dan Dahna diluar Kuwait. Al Sulaba mengklaim nama mereka berasal
dari kata Salb, yang berarti kaku atau sulit, mereka mengindikasikan
diri bahwa mereka adalah yang pertama dari kalangan orang-orang Arab.
Mereka mengaku sebagai umat pilihan Allah, meskipun semua orang Arab
lainnya menolak dan menghina.
Misteri Suku Al Sulaba
Kebiasaan aneh Al Sulaba terlihat dalam pernikahan dan khitanan untuk
mendirikan sebuah salib kayu yang ditutupi dengan kain merah dan dihiasi
dengan bulu, melambangkan undangan yang merayakan. Kaum pria dan wanita
muda membentuk dua baris berlawanan satu sama lain, mereka menari di
sekitar salib, dekat satu sama lain sampai mereka hampir menyentuh. Dan
laki-laki diperbolehkan untuk mencium bahu perempuan dalam tarian
tersebut. Al Sulaba menikahi pasangan diantara kelompok mereka sendiri
dengan kesepakatan antara kedua mempelai dan setelah mendapat
persetujuan dari orang tua. Tidak ada Badui lain diperbolehkan menikahi
seorang wanita dari suku Al Sulaba, meskipun banyak yang mengakui bahwa
perempuan Al-Sulaba termasuk yang tercantik diwilayah padang pasir.
Dalam upacara pemakaman dan berdoa, suku Al Sulaba memiliki
kebiasaan yang berbeda dari Badui lainnya. Mereka tidak berziarah ke
Mekah, tetapi ke Harran di Irak. Beberapa orang pria diduga menjaga
kitab suci mirip dengan Perjanjian Lama yang ditulis dalam bahasa Kasdim
atau Asyur. Mereka menghormati bintang utara yang disebut Jah karena
merupakan titik tetap yang memandu penjelajah, juga menghormati bintang
lainnya di Capricorn. Untuk menunjukkan rasa hormat, mereka berdiri
tegak menghadap bintang dengan tangan terentang, sehingga tubuh
menyerupai salib.
Suku Al Sulaba hidup dengan cara berburu, terutama memburu rusa untuk
mendapatkan makanan dan kulit yang akan dikenakan sebagai pakaian.
Mereka juga memakan hewan lainnya termasuk belalang, dan hampir apapun
yang mereka temukan, bahkan suku Al-Sulaba memakan bangkai, darah, dan
daging anjing. Suku ini memiliki metode khas berburu rusa, menutupi diri
dengan kulit rusa dan mengikuti mangsa sampai mencapai jangkauan
senjata. Terkadang menyamar hingga cukup dekat untuk menangkap hewan
hidup-hidup.
Asal Usul Suku Al Sulaba Semenanjung Arab
Salah satu sumber sastra pertama yang menceritakan tentang suku Al
Sulaba adalah Suleiman Al-Bustani, sebuah tulisan yang diterbitkan
Al-Muqtataf dimana suku nomaden ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu
Badui, semi Badui, dan orang Badui dari suku Badui. Al Sulaba dimasukkan
ke dalam kategori ketiga dan dijelaskan dalam teori yang menyatakan
bahwa mereka berasal dari Tentara Salib, Al-Salibiyeen (bahasa Arab)
setelah Mameluks mengalahkan dan membubarkan pasukan itu. Kemudian
Al-Bustani menjelaskan lebih luas tentang Al-Sulaba dalam tulisannya Da'erat Al Ma'aref,
sebuah ensiklopedia yang diterbitkan oleh Butrus Al-Bustani pada tahun
1911. Karya ini membenarkan teori bahwa suku Al Sulaba berasal dari
Tentara Salib.
Studi antropolog yang dilakukan Henry Filed mengacu pada berbagai suku
dan bangsa-bangsa Timur tengah, dia mempelajari lebih dari seratus orang
Al Sulaba yang tinggal disekitar Kuwait dan mengatakan bahwa mereka
merupakan kelompok terpisah. Sebagian besar karena penghinaan orang Arab
yang menahan mereka, mencegah dari pembauran dan pencampuran dengan
orang lain. Mereka memiliki ciri-ciri kepala panjang dan sempit dengan
mata hitam.
Salah satu deskripsi paling menarik tentang suku Al-Sulaba diungkapkan
oleh Lady Anne Blunt. Dia menggambarkan dua pemuda dari suku itu sebagai
keindahan seni dengan wajah sempurna, mata berbentuk almond, gigi
putih, dan kulit seperti gading. Dia juga menggambarkan seorang wanita
setinggi empat kaki dan seorang gadis kecil sebagai makhluk yang paling
menyenangkan yang pernah dilihatnya. Dia menggambarkan suku Al Sulaba
sangat singkat tapi sangat proporsional, dengan tangan dan kaki yang
sangat kecil disertai senyum aneh seperti orang yang takut. Reaksi
terkejut digambarkan melalui mata yang membuat mereka terlihat seperti
makhluk liar daripada manusia. Lady Anne menyimpulkan bahwa Al-Sulaba
yang bukan Gipsi atau Arab, tetapi mereka berasal dari India seperti
Gipsi.
Al Sulaba diyakini telah tersebar di padang gurun untuk menghindari serangan Tamerlane di Baghdad. Pendapat ini berdasarkan beberapa ekspresi Al-Sulaba yang mirip dengan dialek India, beberapa mitos Al Sulaba mirip dengan orang-orang yang ada dalam buku Seribu Satu Malam, dan banyak kelompok Al Sulaba hidup berdekatan dengan Teluk.
Penulis lainnya juga menjelaskan tentang suku Al Sulaba, salah satunya W
Pierre, dia mengklaim bahwa mereka adalah orang-orang Arab yang masuk
Islam pada periode akhir, kebiasaan suku Al Sulaba dan status rendah
hati menunjukkan bahwa mereka adalah korban bencana terdahulu. Sementara
Antropolog Perancis selama berada di Suriah dan Lebanon mengembangkan
teori bahwa suku Al-Sulaba berasal dari asal-usul ras non-Arab, mungkin
saja dari India yang dibawa ke Baghdad sebagai musisi yang melayani masa
pemerintahan khalifah Abbasiyah.
Tetapi salah satu penjelajah pertama seperti Karsten Neibuhr, yang saat
itu mengunjungi Al Hijaz dan Yamen, dia menjelaskan bahwa Al-Sulaba
tidak ada sebelum era ini. John Burkehardt, dia juga menggambarkan Al
Sulaba sebagai suku dari utara yang tidak menggunakan kuda atau unta,
yang ada hanya tenda tipis dan hidup dengan cara berburu. Suku Al Sulaba
mengandalkan beg diantara suku-suku lain untuk mendapatkan mesiu atau
sarana untuk membeli. John tidak menyinggung keberadaan Al Sulaba
berasal dari India.
Perjalanan Sir Richard Burton pada tahun 1853, dia menyebut suku Al
Sulaba dengan nama Khlawiyah, tetapi tidak mengacu pada keberadaan asal
mereka terlibat Perang Salib ataupun menyebut orang-orang Kristen
terlibat didalamnya. Dia mengatakan bahwa suku Al Sulaba membenci suku
Haytam yang berdiam di sekitar Yanbu', mereka bekerja sebagai tukang
pateri, peternak anjing Saluqi, dan keledai digunakan sebagai mahar
untuk perempuan.
Sementara itu, orang pertama yang menjelaskan keberadaan Al Sulaba
kemungkinan berasal dari Kristen adalah William Belgrave dari Inggris.
Belgrave berangkat ke Semenanjung pada tahun 1862 dan yang menerbitkan
buku perjalanannya pada tahun 1866. Dia menyebut suku Al Sulaba sebagai
penyembuh yang paling terampil di kalangan Badui. Belgrave mengatakan
bahwa mereka bukan dari keturunan Arab dan mereka mengaku sebagai orang
utara yang terlihat dari fitur kulit dan wajah umumnya tampan.
Spontanitas suku Al Sulaba pada lawan umumnya bersifat curiga antar
sesama penghuni padang pasir. Dia menyatakan bahwa nama dan kebiasaan
mereka berasal dari Kristen, tapi tidak menyebutkan asalnya dari pasukan
Perang Salib.
Pendapat lain meyakini bahwa mereka Gipsi dan dibuktikan dalam migrasi
tahunan Al Sulaba pada akhir musim dingin di Efrat untuk berburu keledai
liar untuk mengembangkan populasi diantara kelompoknya sendiri. Tidak
seperti pendapat Belgrave, pendapat lain mejelaskan bahwa suku Al-Sulaba
berpenampilan jelek, hidup sebagai parasit yang mengklaim kemiskinan
meskipun mereka kaya, namun mereka mengubur uang mereka untuk
mempertahankannya, dan mencari nafkah secukupnya dengan cara mengemis,
bermain-main, dan berburu.
William Writ mulai mencari asal-usul suku Al Sulaba
di Semenanjung Arab, dia meneruskan teori bahwa suku ini melarikan diri
dari pengepungan Karbala, meninggalkan kelompok mereka sehingga yang
tertinggal habis dibantai. Sejak saat itu, Al Sulaba dianggap terkutuk
dan memalukan setara dengan wanita. Akibatnya, mereka dianggap tidak
layak menaiki atau memiliki kuda, tunggangan Al Sulaba terbatas pada
keledai. Menurut teori ini, mereka meyakini Ismailiyah dan tidak seperti
penghuni gurun lainnya, mereka tidak dendam kepada siapa pun dan tidak
berbahaya.
Referensi
- First Encyclopaedia of Islam: 1913-1936, by M Th Houtsma, A J Wensinck. Brill Academic Pub; Reprint edition April, 1993
- Bedouin Tribes of the Euphrates, by Lady Anne Blunt. Hesperides Press, November 2006
- Blunt, Wilfrid Scawen: with Lady Anne Blunt. Photograph. Britannica Online
- Bedouins in the desert, by Eugene Girardet (1853–1907), public domain Wikimedia Commons